RESENSI BUKU

BUKU BERJUDUL POLA PENGUASAAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL KALIMANTAN BARAT


Penulis : Y.C.Thambun Anyang,SH.  
Penerbit : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan  
Kota penerbitan : Jakarta
Dicetak tahun : 1989
Jumlah halaman : 96

BAB 1 PENDAHULUAN
Disini membahas mengenai dari hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang menyebabkan persekutuan dan warganya memperoleh hak untuk menguasai memiliki dan menggunakan tanah secara tradisonal. Ada beberapa masalah yang mendorong dilakukannya penelitian terhadap pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional:
  • Adanya ketidakjelasan dari pola-pola tersebut yang kadang menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dibeberapa daerah.
  • Berlakunya UUPA (UU no.5 tahun 1960) menimbulkan perubahan atau pola baru dalam hal penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah, dengan dengan berlakunya UU no.5 tahun 1979 sedikit banyak akan mempengaruhi pola-pola tradisional tersebut.
  • Belum diketahui data dan informasi tentang pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional yang dapat dijadikan bahan kebijaksaan pembinaan kebudayaan serta bahan studi
BAB 2 IDENTIFIKASI 
Membahas mengenai lokasi dan letak daerah di Kecamatan Sintang, kecamatan Sintang merupakan salah satu  kecamatan yang ada di kabupaten daerah tingkat II Sitntang yang terdiri atas 111 desa dan 6 kelurahan. Daerah kecamatan Sintang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu penghujan dan musim kemarau. Batas kecamatan Sintang:
  1. Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan tempunak dan kecamatan sepauk
  2. sebelah timur berbatasan dengan kecamatan debai dan kecamatan kayan hilir
  3. sebelah utara berbatasan dengan kecamatan ketungau hilir dan kecamatan silat
  4. sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan belimbing.
Jenis tanah adalah tanah latosol dan andosol. jenis tumbuhan yang tumbuh didaerah ini antara lain tengkawang, kebaca, tekam, jelutung, meranti, ramin, rotan, bahan rakit dan banyak lagi tumbuhan lainnya. Upacara adat masih dilakukan, walaupun sudah ada penyesuaian dengan kepercayaan agama yang mereka anut sekarang. Dalam setiap upacara adat, selalu ada sesajen untuk dipersembahkan kepada para arwah nenek moyang dan para makhluk halus. Maksud persembahan tersebut adalah untuk menolak mala petaka yang datangnya dari roh jahat. Tempat-tempat upacara ada yang dilaksanakan di tanah, rumah, dan ada pula yang di air. Khusus untuk kepentingan pengobatan orang sakit, ada pemeberian sesajen untuk orang sakit yang disebut pedarak pegelak.
BAB 3 SEJARAH TENTANG TANAH
    1. Masa Sebelum Penjajahan, pada masa sebelum penjajahan tanah dikuasai oleh masyarakat persekutuan adat setempat yang meliputi tanah-tanah pertanian dan hutan. Setiap warga atau anggota masyarakat persekutuan adat yang ingin membuka hutan untuk diusahakan sendiri sebagai tempat bercocok tanam harus meminta izin kepada kepala persekutuan adat. Hutan yang telah dibuka dan digarap pertama kali oleh seorang, misalnya untuk perladangan, selalu diberi tanda dan sejak didarap pertama kali itulah tanah tersebut sudah menjadi tanah miliknya. Seorang yang telah memperoleh izin membuka hutan diumumkan kepada warga masyarakt setempat oleh kepala persekutuan adat. Dalam pemberian izin melibatkan beberapa orang warga setempat untuk dijadikan saksi.
    2. Masa Belanda, pada masa penjajahan Belanda, tanah milik adat bumi putera diakui dan dlindungi, bahkan oleh pemerintah Belanda, rakyat dianjurkan memelihara hutan, tengkawang, menaman karet, dan berbagai tanaman yang mengahasilkan. Hak-hak rakyat atas tanah tetap dipertahankan, akan tetapi rakyat diharuskan membayar belasting kepada pemerintah Belanda. Pada masa itu juga harus dilaksanakan sistem tanam paksa.
    3.  Masa Jepang, pada masa penjajahan Jepang bidang penguasaan tanah tidak mengalami perubahan, sama seperti pada masa Belanda, hanya apa yang disebut belasting tidal lagi diberlakukan kepada anggota masyarakat. Temenggung dan kepala kampung sebagai kepala persekutuan adat tetap berfungsi dan terlibat dalam pengurusan penguasaan tanah. Pada masa ini juga, rakyat disuruh menanam padi dan palawija ditanah-tanah perkebunan, pegunungan dan tanah kehutanan.
    4. Masa Kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, tanah dalam wilayah kampung di kuasai oleh masyarakat kampung itu sendiri. Tanah yang dikuasai oleh masyarakat, yaitu:
    • Tanah laman adalah tanah pekarangan
    • Tanah bawas ladang adalah tanah bekas ladang
    • Tanah perkuburan adalah tanah yang digunakan untuk kuburan
    • Tanah mali adalah tanah yang pantang digarap
    • Tanah rimba adalah tanah hutam tempat mengambil ramuan rumah dan hasil hutan serta sebagai tempat perburuan.
BAB 4 POLA PENGUASAAN TANAH
Kedudukan pemilik tanah adat perorangan dibatasi oleh hak ulayat dan fungsi sosial tanah. Seorang yang dimiliki sebidang tanah sebidang tanah berkedudukan sebagai pemegang hak perorangan. Oleh karena itu, ia berwenang mengatur penggunaan tanah yang dimilikinya sepanjang tidak tidak bertentangan atau tidak merugikan hak-hak persekutuan tanah dalam wilayah kampung atau ketemanggungan. Hubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan tanah dimulai sejak pertama kali mengerjakan tanah. Hubungan perseorangan itu harus bersifat terang, yang artinya sepengetahuan dan seizin kepala kampung atau kepala adatnya dan telah memberikan tanda-tanda yang dapat dimengerti ole seluruh warga masyarakat setempat.
Tanah kampung atau tanah persekutuan dalam wilayah ketemenggungan dikuasai masyarakat persekutuan dan pengaturan seta penggunanya dilakukan oleh kepala kampung atau temenggung. Kepala adat atau kepala kampung bertindak sebagai pengurus, pengatur, pengawas pemakaian tanah, dam pemungutan hasil hutan serta bahan ramuan dalam wilayahnya untuk menghindarkan terjadinya perselisihan tentang tanah, hasil hutan dan dalam pengambilan bahan ramuan tersebut.
Pada masyarakat Daya Linuhini bentuk penguasaan tanah secara tradisional itu adalah: 
  1. Tanah hutan (rimba) yang dibuka atau dikerjakan sendiri oleh seseorang atau oleh leluhurnya yang dilakukan menurut kebiasaan setempat.
  2. Tanah hutan (rimba) bebas yang dicadangkan untuk tanah perladangan dimana para warga desa dapat membuka tanah hutan dengan izin kepala adat.
  3. Tanah hutan (rimba) lindung yang dicadangakan untuk tempat mengambil bahan ramuan rumah, berburu, dan memungut hasil hutan berupa rotan, tengkawang, cempedak, dan sebagainya dimana warga kampung atau desa dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk memanfaatkan hutan lindung tersebut. Akan tetapi kesempatan umtuk memanfaatkan hutan lindung tersebut hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya agar warga lainnya dapat ikut serta secara merata menikmati manfaat hutan lindung itu. Jadi tidak dibolehkan hanya segelintir orang yang hanya dapat menikmati manfaat hutan lindung tersebut.
  4. Tanah bawas yaitu tanah bekas perladangan dari suatu keluarga atau seorang terdiri atas bawas baru, bawas baru, dan bawas tuha akan tetapi tanah bawas ini sudah termasuk tanah dalam penguasaan perorangan
  5. Tanah gupung yaitu tanah yang ditasnya sudah ada objek hak persekutuan atau perorangan seperti gupung laman, gupung tembawang, gupung lalau, gupung kubur dan gupung mali
  6. Tanah kebun yaitu tanah yang dikuasai oleh perorangan atas suatu keluarga diman diatasnya telah ada tanaman pohon berupa pohon karet, lada, durian, pisang dan sebagainya.
BAB 5 POLA PEMILIKAN TANAH
Tanah pada masyarakat Daya Linuh dimiiki oleh persekutuan dan warga persekutuan. Setiap warga persekutuan berhak memiliki persekutuan dengan ketentuan memenuhi  adat kebiasaan dalam proses pemilikan tanah. Seorang warga termasuk para kepala kampung atau kepala persekutuan adat tidak boleh membuka hutan lindung untuk dijadikan obejk hak perorangan. Jadi, pada masyarakat suku Daya Linuh , sekali ia mengerjakan dan memberi tanda batas di sebidang tanah hutan dengan setahu dan seizin kepada persekutuan, selama itu pula tanah tersebut miliknya dan tidak boleh diganggu atau dikerjakan oleh orang lain. Kalau ada yang mengganggu atau mengerjakannya, maka jelas yang mengganggu tersebut bermasalah dan pasti dikenakan sanksi adat atas perbuatannya merampas tanah milik orang lain. 
Apabila tanah tersebut menghutan kembali bukan persoalan, sebab memang disengaja dihutankan kembali agar kesuburan tanah pulih kembali. Jadi, karena untuk kepentingan kelestarian alamnya tanah tersebut dibiarkan seolah-olah diterlantarkan. Tanah persekutusn dan tanah milik perseorangan mempunyai batas-batas yang tela disepakati bersama oleh persekutuan lain atau orang lain yang tanahnya berbatasan langsung. Yang dijadikan batas sifatnya tahan lama dan tidak mudah hilang, misalnya menggunakan batas alam, batas yang ditanam atau diletakkan bersama.
Pada masyarakat ini, membagi harta warisan terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh orang tua dan anak-anaknya, serta dihadiri oleh kaum keluarga yang terdekat. Orang tua sebagai pengambil keputusan terkahir mengenai barang atau tabah yang akan diwariskan kepada anak tertua, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai kepada anak yang bungsu.
Tanah yang terpenting bagi masyarakat suku Daya Linuh sekarang bukan sawah, melainkan tanah perladangan dengan pola berpindahdari lokasi satu ke lokasi yang lain dan dalam siklus waktu tertentu akan kembali ke tempat yang pertama kali dikerjakan. Kesuburan tanah diserahkan sepenuhnya secara ilmiah kerana mereka belum mengenal cara menyumburkan atanh dengan menggunakan pupuk, baik pupuk alam, maupun pupuk buatan. Sebagai petani mereka memetingkan ladang daripada sawah karena, antara lain:
  1. tidak mempunyai pengetahuan dsn pengalaman tentang sawah
  2. tidak ada contoh yang konkrit tentang hasil sawah, menurut mereka yang pernah bersawah
  3. biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh
  4. perbedaan rasa padi ladang dengan padi sawah
BAB 6 POLA PENGGUNAAN TANAH
Tanah ynag terletak dalam wilayah suatu kampung atau yang termasuk wilayah persekutuan suku Daya Linuh, prinsipnya hanya boleh diguanakan oleh warga kampung setempat atau persekutuan adat tersebut. Penggunaan tanah yang sudah beruoa tanah bawas jekas terlebih dahulu harus meminta izin atau meminjam tanah bawas itu kepada pemiliknya. Setelah itu, andaikan pemiliknya mau meminjamkan tanah tersebut barulah memberitahukan maksudnya kepada kapala kampung atau kepala persekutuan adat agar dapat dizinkan berada di kampung tersebut untuk mengerjakan tanah tersebut yang dipinjam dari seorang warga kampung stempat. Dalam hal demikian, kapala kampung atau kepala persekutuan adat berwenang tidak mengizinkan yang bersangkutan, apabila ada alasan-alasan yang diperkirakan dapat mengganggu atau merugikan kepentingan persekutuan.
Tanah yang diperguanakan dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk penggunaan, yakni penggunaan tanah untuk kepentingan perseorangan dan untuk kepentingan komunal
  • Penggunaan tanah untuk kepentingan perseorangan dapat berupa:
  1. Tanah untuk perladangan 
  2. Tanah untuk kebun dan tanaman lain, seperti buah-buahan atau umbi-umbian
  3. Tanah untuk warisan, dipertukarkan, dihibahkan, diperjual-belikan
  4. Tanah untuk  halaman rumah
  5. Tanah untuk tempat orang numpang buma
  6. Tanah untuk tempat mendirikan rumah
  7. Tanah umtuk sawah sampai sekarang belum berhasil
  • Tanah yang digunakan untuk kepentingan komunal berupa:
  1. Tanah untuk hutan lindung 
  2. Tanah untuk hutan bebas (cadanga lahan perladangan)
  3. Tanah untuk peternakan
  4. Tanah untuk gupung kubur
  5. Tanah untuk gupung mali
  6. Tanah untuk gupung lalau madu
  7. Tanah untuk gupung tembawang
BAB 7 ANALISA 
Tanah yang berada dalam penguasaan perseorangan dan tanah yang dikuasai komunal tetap berada dibawah pengawasan kepala persekutuan adat agar ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan warganya terpelihara atau terjamin. Kepindahan suatu kelompok ke lokasi atau pemukiman yang bari disebabkan:
  1. luas wilayah kampung yang ditinggalkan sudah semakin sempit karena pertambahan jumlah keluarga (penduduk)
  2. kondisi tanahnya yang semakin kurang subur
  3. hasil hutan dan binatang buruan sudah susah memperolehnya
  4. masih luasnya tanah-tanah kosong disepanjang tepi sungai yang belum dikuasai oleh kelompok
  5. adanya dorongan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dari tempat yang semula
Ada beberapa pandangan yang perlu diperhatikan oleh pelaksana pemabngunan di lokasi proyek transmigrasi, PIR, dan wilayah PHK sehubungan konsep budaya setempat yaitu:
  1. masyarakat suku Daya Linuh dianggap sebagai telah mentelantarkan tanah, padahal ditinggalkam untuk memulihkan kesuburan tanah dengan proses alami
  2. masyarakat suku Daya Linuh dilokasi proyek, kalau mempertahankan haknya untuk kepentingan hidup mereka, kadangkala disebut penghambat pembangunan
  3. sebutan perladangan liar dalam pola ladang berpindah dirasakan menusuk perasaan kaum petani sebab hanya dengan cara itulah mereka berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Mereka berbuat demikian karena mengikuti aturan-aturan yang harus ditaati dalam berladang dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi adat menurut ketentuan hukum adat setempat.
Kekurangan:
  1. dibuku belum mendeteailkan tentang masyarakat setempat, siap yang dimaksud dengan kepala persekutuan adat, masyarakat yang seperti apa yang bisa memperoleh lahannya.
  2. kurangnya kejelasan skup temporal pada buku tersebut sehingga seperti tidak runtut waktu dibaca 
  3. kurangnya bukti yang jelas agar dapat menggambarkan kondisi waktu tersebut
Kelebihan:
  • dalam buku ini sangat detail menjelaskan tentang pembagian lahan pada daerah Kalimantan Barat
  • lebih menjelaskan mengenai hukum tanah yang ada di daerah Kalimantan Barat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Sejarah Pesesaan

Resume Materi Sejarah Agraria